Kompetensi Dasar
1. Mendiskripsikan usaha-usaha bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaanya
2. Mendiskripsikan pertempuran-pertempuran yang terjadi di nusantara
Indikator
1. Menjelaskan usaha-usaha bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaanya
2. Menjelaskan pertempuran-pertempuran yang terjadi di nusantara
3. Menyebutkan tokoh-tokoh dalam pertempuran yang terjadi di nusantara
Setelah menghancurkan Jepang, Komando Sekutu Asia Tenggara di Singapura
memerintahkan tujuh perwira Inggris untuk datang ke Indonesia dibawah
pimpinan Mayor A.G. Greenhalg. Mereka tiba di Indonesia pada tanggal 8
September 1945 dengan tugas mempelajari dan melaporkan keadaan di
Indonesia. Kedatangan sekutu di Indonesia yang diboncengi tentara NICA
(Netherland Indies Civil Administration mengakibatkan tugas TNI makin
berat untuk mempertahankan kemerdekaan. Usaha mempertahankan kemerdekaan
demudian dilakukan dengan cara militer dan perundingan (aklamasi).
Konflik Indonesia-Belanda banyak terjadi di daerah-daerah, seperti
pertempuran di Surabaya, Bandung, Medan, Manado, Biak, dan sebagainya.
A. Pertempuran di Surabaya
Kekuatan asing yang harus dihadapi Republik Indonesia setelah
kemerdekaan Indonesia adalah Sekutu yang ditugaskan untuk menduduki
wilayah Indonesia dan melucuti tentara Jepang. Yang melaksanakan tugas
ini adalah Komando untuk Asia Tenggara, dipimpin oleh laksamana
Lord Louis Mountbatten. Kemudian, Mountbatten membentuk suatu komando yang diberi nama
Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah pimpinan Letnan Jendral Sir Philip Christison.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, pasukan AFNEI dari brigade 49 mendarat di Tanjung Perak, Surabaya yang dipimpin oleh
Brigjen A.W.S. Mallaby.
Kedatangan pasukan AFNEI di Surabaya menumbuhkan kecurigaan bagi
pemerintah RI bahwa kedatangan AFNEI diboncengi oleh NICA. Kecurigaan
itu bisa diatasi setelah adanya kesepakatan antara Mallaby dan wakil
pemerintah RI bahwa AFNEI menjamin tidak ada pasukan Belanda (NICA) yang
membonceng mereka dan tugas AFNEI di Indonesia hanya melucuti tentara
Jepang.
Namun kesepakatan tersebut diingkari oleh pihak AFNEI. Terbukti pihak
AFNEI melakukan provokasi yang mengundang kemarahan rakyat Surabaya.
Provokasi yang dilakukan AFNEI adalah sebagai berikut.
- Pasukan AFNEI menyerbu penjara Kalisosok untuk membebaskan kolonel
angkatan laut Belanda yang ditawan pemerintah RI. Penyerbuan ini
dilakukan pada tanggal 26 Oktober 1945.
- Pada tanggal 27 Oktober 1945 AFNEI menduduki tempat-tempat penting,
seperti pangkalan udara Tanjung Priok, kantor pos besar, dan
tempat-tempat penting lainnya.
- Pada tanggal 27 Oktober 1945 pesawat terbang AFNEI menyebarkan
pamflet yang isinya memerintahkan kepada rakyat Surabaya dan Jawa Timur
untuk menyerahkan senjata yang dirampas dari Jepang.
Provokasi yang dilakukan AFNEI membuat kepercayaan pemerintah RI di
Surabaya menjadi pudar. Kemudian, pemerintah mulai memerintahkan pemuda
dan TKR untuk bersiaga. Pada tanggal 27 Oktober 1945 mulailah
pertempuran antara pasukan Indonesia melawan AFNEI. Pertempuran ini
membuat pasukan AFNEI terancam hancur.
Di tengah situasi yang mencekam, Jenderal D.C. Hawthorn menghubungi
Soekarno untuk berunding guna membantu meredakan serangan pasukan
Indonesia. Soekarno-Hatta dan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya tanggal
29 Oktober 1945. Perundingan antara pemerintah RI dan AFNEI mencapai
kesepakatan untuk membentuk panitia penghubung (contact commitee) yang
bertugas menjernihkan kesalahpahaman dan menyerukan gencatan senjata.
Insiden yang terjadi di Gedung Internasional yang mengakibatkan
tewasnya Brigjen Mallaby, menyulut kemarahan pasukan AFNEI. Mereka
menambah pasukan di bawah pimpinan Mayjen R.C. Mansergh.
Pada tanggal 9 November 1945 AFNEI mengeluarkan ultimatum sebagai berikut.
- AFNEI menuntut balas atas kematian Brigjen Mallaby.
- AFNEI menginstruksikan kepada pemerintah, pemuda, keamanan, dan
masyarakat untuk melapor, menyerahkan senjata, meletakkan tangan diatas
kepala, dan menandatangani penyerahan tanpa syarat.
Batas ultimatum itu ditentukan sampai tanggal 1 November 1945 pukul
06.00 WIB. Apabila tidak dijalankan, maka Surabaya akan digempur melalui
darat, laut, dan udara. Ultimatum itu sempat melecehkan martabat rakyat
Indonesia. Dalam suasana yang makin tegang, Menlu Achmad Soebardjo
menyerahkan keputusan kepada rakyat Surabaya. Memalui siaran radio,
Gubernur Jawa Timur, Surya, mengumumkan penolakan secara tegas atas
ultimatum AFNEI.
Pada tanggal 10 November 1945, pasukan AFNEI menggempur kota Surabaya
melalui darat, laut, dan udara. Rakyat Surabaya dengan gigih
mempertahankan kota Surabaya, walaupun telah menelan banyak korban. Kota
Surabaya dapat dipertahankan hampir 3 minggu. Pertempuran yang terakhir
terjadi pada tanggal 28 November 1945 di Gunung Sari.
B. Bandung Lautan Api
Pada bulan Oktober 1945, Tentara Republik Indonesia (TRI) dan pemuda
serta rakyat sedang berjuang melawan tentara Jepang untuk merebut
senjata dari tangan Jepang. Pada saat itu, pasukan AFNEI sudah memasuki
kota Bandung. Pasukan AFNEI menuntut pasukan Indonesia untuk menyerahkan
senjata. Disamping itu, TRI harus mengosongkan kotra Bandung bagian
utara paling lambat tanggal 29 Oktober 1945.
Tuntutan dari AFNEI tersebut tidak diindahkan oleh TRI maupun rakyat
Bandung. Dipimpin oleh Arudji Kartawinata, TRI dan pemuda Bandung
melakukan serangan terhadap kedudukan AFNEI. Pertempuran itu berlanjut
hingga memasuki tahun 1946. Pada tanggal 23 maret 1946, AFNEI kembali
mengeluarkan ultimatum supaya TRI meninggalkan kota Bandung. Ultimatum
itu diperkuat dengan adanya perintah dari pemerintah pusat Jakarta
supaya TRI meninggalkan Bandung.
Perintah dari pusat tersebut memang bertentangan dengan instruksi
dari markas TRI di Yogyakarta. Sebelum meninggalkan Bandung, TRI
mengadakan perlawanan dengan cara membumihanguskan kota Bandung bagian
selatan. Tindakan itu membawa akibat fatal bagi pasukan AFNEI, karena
mengalami kesulitan akomodasi dan logistik di kota Bandung. Tindakan
membumihanguskan kota dikenal dengan Bandung Lautan Api.
C. Pertempuran Medan Area
Karena sulitnya komunikasi, proklamasi kemerdekaan baru diumumkan
secara resmi di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945 oleh Mr. Teuku
Muhammad Hasan selaku Gubernur Sumatra. Pada tanggal 9 Oktober 1945
pasukan AFNEI dibawah pimpinan Brigjen T.E.D. Kelly mendarat di Belawan.
Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang
dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan.
Kedatangan pasukan AFNEI disambut baik oleh pemerintah RI karena pemerintah RI menghormati tugas AFNEI di Indonesia.
Namun dibalik itu, sehari setelah AFNEI mendarat di Belawan, pasukan
AFNEI mendatangi kamp-kamp tawanan untuk membebaskan tawanan perang yang
kebanyakan orang Belanda. Tawanan yang dibebaskan itu, kemudian
dipersenjatai dan dibentuk menjadi Batalyon KNIL di Medan.
Hal tersebut memancing kemarahan para pemuda sehingga meletuslah
pertempuran di Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Pertempuran tidak
hanya terjadi di Medan, melainkan menyebar ke kota-kota lain, seperti
Pematangsiantar dan Brastagi. Dalam menghadapi kedatangan Sekutu dan
NICA, para pemuda membentuk kekuatan militer, yaitu TKR Sumatra Timur
yang dikomandani oleh Achmad Tahir. Juga, para pemuda membentuk Laskar
Perjuangan Pemuda Republik Indonesia Sumatra Timur.
Pada tanggal 18 Oktober 1945 AFNEI mengeluarkan ultimatum yang
memerintahkan TKR dan Laskar Perjuangan supaya menyerahkan senjata.
Tanggal 1 Desember 1945 AFNEI membatasi daerah Medan dengan memasang
papan pembatas yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area (Batas Resmi
Medan Area) di sudut-sudut pinggiran kota Medan. Selain itu, pasukan
AFNEI dan NICA mengadakan aksi pembersihan unsur-unsur RI diseluruh
kota.
Aksi ini menimbulkan reaksi tembak menembak dan pertempuran tidak
bisa dihindari lagi. Dalam bulan April 1946, kota Medan dikuasai oleh
pasukan AFNEI. Gubernur, TKR, dan Wali Kota Medan memindahkan pusat
pemerintahan ke Pematangsiantar.
Karena tidak adanya komando yang jelas, mengakibatkan serangan para
pejuang Indonesia terhadap AFNEI tidak berarti dan tidak membuahkan
hasil yang baik. Untuk mengefektifkan serangan terhadap pasukan AFNEI,
para komandan yang berjuang di Medan mengadakan pertemuan di Tebing
Tinggi dan membentuk satuan komando yang bernama Komando Resimen Laskar
Rakyat Medan Area. Pertemuan ini berlangsung pada tanggal 19 Agustus
1946. Dengan terbentuknya Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area,
serangan terhadap pasukan AFNEI menjadi lebih efektif.
D. Peristiwa Merah Putih di Menado
Karena sulitnya komunikasi, proklamasi kemerdekaan di Menado
mengalami keterlambatan seperti di daerah-daerah lain di luar pulau
Jawa. Sejak pasukan AFNEI mendarat di Menado yang diboncengi oleh
pasukan NICA, upaya penegakan kedaulatan Indonesia makin sulit.
Kedatangan pasukan AFNEI adalah untuk membebaskan anggota KNIL bekas
tawanan Jepang yang kemudian dipersenjatai dan dikenal dengan nama
Tangsi Putih.
Sejak akhir tahun 1945 pasukan AFNEI meninggalkan sulawesi utara dan
kekuasaan diserahkan sepenuhnya kepada NICA. Sejak saat itu, pasukan
NICA bertindak semena-mena dan melakukan penangkapan pada sejumlah tokoh
RI. Tindakan yang dilakukan NICA ini mengundang reaksi dari para
pendukung RI, terutama para pemuda dan mantan anggota KNIL yang berasal
dari Indonesia. Mantan anggota KNIL ini dikenal sebagai Tangsi Hitam
yang kemudian membentuk Pasukan Pemuda Indonesia (PPI).
Pada pertengahan Januari 1946 PPI mengadakan rapat rahasia untuk
menggalang aksi perlawanan. Namun kegiatan tersebut diketahui oleh NICA
yang berakibat beberapa pimpinan PPI ditangkap. Senjata dari pasukan
Tangsi Hitam dapat dilucuti oleh NICA, tetapi kejadian tersebut tidak
mengerutkan semangat para pejuang di armada.
Pada tanggal 14 Februari 1946 tanpa dilengkapi senjata, PPI menyerbu
kedudukan NICA di Teling. Mereka membebaskan para tokoh pejuang
Indonesia yang ditawan dan mampu menawan komandan NICA beserta anak
buahnya. Pada hari itu juga, sebagian pejuang Indonesia mengambil
bendera Belanda yang berada di pos penjagaan da merobek warna birunya
sehingga yang masih ada hanya warna merah dan putih. Bendera itu
dikibarkan di Tangsi Teling. Peristiwa ini menandai peristiwa merah
putih di Menado.
Serangan PPI masih dilanjutkan dan berhasil menguasai markas NICA di
Tomohon dan Tondano. Setelah kedudukan NICA dapat diambil alih oleh para
pejuang Indonesia, pada tanggal 16 Februari 1946 dibentuklah
pemerintahan sipil, dan sebagai residennya adalah B.W. Lapian. PPI juga
membentuk TKR yang dipimpin oleh C.H. Taulu, Wuisan, dan J. Kaseger.
Akhirnya, kompi KNIL Tangsi Hitam dijadikan Tentara Republik Indonesia.
E. Peristiwa Merah Putih di Biak
Seperti di daerah lain, upaya untuk menegakkan kedaulatan Indonesia
di Biak (Papua) mengalami hambatan dari pasukan NICA. Berita proklamasi
kemerdekaan Indonesia di Irian (Papua Barat) disambut gembira. Dukungan
terhadap proklamasi kemerdekaan bergema di kota-kota, seperti Jayapura,
Sorong, dan Serui. Para tokoh-tokoh pejuang Irian membentuk Komite
Nasilnal Daerah yang dipimpin oleh Martin Indey. Di Biak terbentuk pula
Partai Indonesia Merdeka yang dipimpin oleh Lucas Roemkorem. Kegiatan
mereka menyusun kekuatan untuk melawan Belanda.
Sejak berkobarnya semangat nasionalisme, para pemuda Irian
menggunakan lencana merah putih. Mereka dengan berani mengibarkan sang
merah putih dan menyelenggarakan rapat-rapat umum. Pada tanggal 14 Maret
1948 para pejuang Irian menyerang tangsi militer Belanda di Sorido dan
Biak yang dipimpin oleh Yoseph. Karena persenjataan NICA lebih unggul,
maka serangan mengalami kegagalan. Tiga orang pimpinan ditangkap dan
diadili di Belanda. Dua orang dihukum mati dan seorang dijatuhi hukuman
seumur hidup.
F. Perang Gerilya
Pada saat Agresi Militer I yang dilakukan oleh Belanda dengan
persenjataan yang modern, TNI mengalami pukulan yang berat. Untuk itu,
TNI harus merubah strategi pertahanan yang baru. Sistem pertahanan
linier yang digunakan selama ini sudah tidak mampu untuk menahan
serangan Belanda. Untuk menghadapi Belanda yang memiliki senjata yang
modern, TNI menerapkan sistem Wehrkreise (perang gerilya).
Ciri-ciri perang gerilya sebagai berikut .
- Suatu wilayah terbagi menjadi lingkaran pertahanan yang dapat
berdiri sendiri. Wilayah tersebut terletak di kawasan luar kota dan
pegunungan.
- Tiap wilayah memiliki pemerintahan sekaligus pertahanan gerilya yang
melibatkan semua kekuatan. Tujuannya adalah menghambat gerak pasukan
Belanda. Apabila musuh mendesak untuk menyerang, dilakukan pengungsian
dengan membumihanguskan tempat tersebut.
- Selain menggalang pertahanan, tiap Wehrkreise (wilayah) harus mampu
menyusup ke belakang garis pertahanan musuh dan membentuk kantong
pertahanan di dalam daerah musuh.